KOTA PADANGKU TERCINTA
Bus kota dan Trans Padang. (Net) |
Hari ini,
Kamis, 7 Agustus 2014, tepat 345 tahun usia Kota Padang, ibukota Sumatera Barat,
tempatku lahir dan dibesarkan. Angkanya cantik, tapi nasibnya mungkin tidak
secantik angka peringatan kelahirannya tahun ini.
Mengapa?
Lihatlah kota ini sejak beberapa tahun terakhir. Semberaut! Terutama di Pasar
Raya Padang. Jalanan di dalam pasar, penuh sesak oleh pedagang yang berjualan.
Mereka tidak sungkan untuk merangsek ke badan jalan. Sudah barang tentu,
kendaraan jadi sulit melintas. Jangankan kendaraan roda empat, sepeda motor saja harus ‘merangkak’ untuk bisa
menembus padatnya jalan.
Banyak warga
kota yang mengaku jadi enggan ke pasar yang dulu sangat terkenal itu. Mereka
lebih memilih berbelanja ke mall atau swalayan yang kini memang mulai menjamur di
kota ini.
Itu baru
satu persoalan. Masalah lainnya adalah payung ceper dan pondok ceper di pinggir
Pantai Padang yang meresahkan banyak pihak. Wisata keluarga yang dulu
digadang-gadang bakal diwujudkan di tempat itu, kini hanya tinggal cerita. Yang
ada, banyak pasangan mesum tertangkap di sana saat dirazia Satpol Pamong Praja
Kota Padang. Padahal, tanpa tenda ceper dan pondok ceper itu, Pantai Padang
akan sangat indah dengan ombak yang berdebur dengan langit biru yang memanjang.
Miris
memang, di tengah upaya pemerintah kota mewujudkan kota bingkuang sebagai kota
dengan masyarakat reliji. Belum lagi, bila mengingat penduduk kota ini yang
mayoritas bersuku Minang memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah (ABS SBK). Apa yang terjadi bagaikan ‘kaji yang dikaduduakan’. Malu
juga saat orang luar tahu hal tersebut.
Hal lain
yang juga tidak dapat dikesampingkan pungutan liar (pungli) di objek wisata. Walau
pun tidak dapat ditampik soal pungli tidak hanya terjadi di objek wisata di
kota ini saja, namun alangkah bijak dapat disikapi pemerintah kota dan pemuka
masyarakat setempat, sehingga tidak menjadi buah bibir para tamu. Apalagi,
masalah pungli di objek wisata, bukan persoalan baru. Sebagai contoh, pungli di
Pantai Air Manih sudah lama bukan rahasia umum lagi.
Pada Lebaran
beberapa hari lalu, di sana biaya parkir motor sesuai karcisnya hanya Rp5.000.
Begitu juga dengan tiket masuk pantai yang terkenal dengan legenda Batu Malin
Kundang, yakni Rp5.000/orang. Tapi baru saja mau memarkirkan kendaraan, datang seseorang
yang langsung mengatakan biaya masuk satu motor Rp20 ribu. Setelah dibayar,
jangan harap dikasih tiket masuk itu, jika tidak diminta. Kalau pun diminta
tidak sesuai dengan jumlah motor dan orang yang biasanya datang berombongan.
Sebenarnya,
jika diuraikan, masih banyak lagi problematika kota ini. Namun, tak cukup waktu
untuk merincinya satu demi satu. Tapi di usianya yang sudah lebih tiga abad
ini, ada juga yang bagusnya. Salah satunya, kehadiran Trans Padang sebagai wujud
kota menuju kota metropolitan. Walaupun belum sesempurna yang ada di kota lain,
paling tidak dengan angkutan umum itu, warga kota ini boleh juga berbangga.
Kini,
seiring dengan hadirnya Walikota Padang yang baru dan telah dilantiknya wakil
rakyat tepat sehari sebelum peringatan hari jadinya, kota ini diharapkan kian tacelak dan semakin baik. Memang banyak harapan
tertompang pada pimpinan tertinggi kota dan para wakil rakyat untuk mengawal
kota ini menjadi kota yang bermartabat, disegani dan tentu dapat memberikan
penghidupan yang layak bagi warganya. Semoga! (*)
Ditulis di warungku nan
permai
Komentar
Posting Komentar