Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II
Abak dan salah seorang cucunya |
Masih ingat, kisah Abak yang pernah saya tulis pada tahun 2016 lalu? Waktu itu saya janji akan menulis tentang perjalanan beliau di masa Agresi Belanda II pada tahun 1948.
Suatu hari di tahun itu, entah di bulan apa, yang jelas Abak dan emaknya bersiap hendak lari ke hutan. Abak bercerita, Belanda sudah mendekati kampungnya, Puncak Kiambang, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat. Suasana sangat genting, mencekam. Masyarakat ketakutan dan memilih mengungsi ke hutan.
Saat itu, emaknya Abak tengah mengemasi pakaian. Dia mengambil beberapa potong pakaian dari lemari di samping jendela rumah panggungnya untuk dibawa mengungsi.
"Pailah dulu," kata emak kepada Abak yang masih setia menunggui emaknya berkemas. Adiknya sudah dibawa lebih dulu oleh emak tua Abak.
"Awak tunggu, Amak," jawab Abak pula ke Maknya.
"Pailah dulu, beko amak turuik dari balakang. Amak ambiak baju saketek lai," lirih Emak Abak berkata pada anaknya.
Meski hati berat meninggalkan emaknya, Abak kemudian perlahan turun dari rumahnya yang tinggi. Dia turun lewat pintu belakang. Belum sampai kakinya menginjak tanah, suara keras bagai bom meledak menggelegar. Keras. Sangat keras!! Abak sendiri terlonjak dan hampir jatuh dari tangga.
Bersamaan dengan suara dentuman itu, terdengar jerit kesakitan dari dalam rumah. Abak yang sudah sampai di belakang rumah kemudian berputar ke samping rumah, ke lokasi kamar emaknya.
Dia melihat emaknya bersimbah darah. Rambut emak yang panjang tergerai ke luar jendela. Abak terpekik histeris. "Mak," teriaknya hendak lari lagi ke atas rumah.
Tapi, emaknya melarang. "Pai lah, yuang, capek ang pai," teriak emak di sisa tenaganya.
Abak sedih. Dia tak tega melihat emaknya terluka. Montir Belanda yang konon dilesatkan dari arah Sicincin telah melukai ibu kandungnya. Abak menangis. Sedih meninggalkan emaknya sendiri berjuang dengan luka di tubuhnya.
Tapi dia tak hendak durhaka. Mak menyuruhnya pergi agar selamat dari penjajah. Hanya saja, Abak tak langsung pergi, dia mengintip dari kejauhan kondisi emaknya, karena tak lama setelah emaknya terluka, berdatangan lelaki dewasa ke sana.
Kata Abak, mereka adalah Belanda Kulit Hitam, yaitu orang Indonesia yang memilih mengabdi ke orang Belanda. Mereka pengkhianat bangsa!
Abak melihat mereka menarik paksa rambut emaknya, hingga tubuh perempuan mulia itu jatuh ke tanah dari rumah panggungnya yang tinggi. Sungguh tak berperi kemanusiaan!!
Dengan menahan air mata dan suara tertahan, Abak terus mengamati mereka dari tempat persembunyiannya. Sayup-sayup Abak masih mendengar rintihan kesakitan ibunya. "Beliau belum meninggal waktu itu," kata Abak kepada kami suatu hari saat menceritakan kisah hidupnya.
Tubuh emak abak yang sudah sampai di tanah kemudian di kubur oleh "Belanda Kulit Hitam" di belakang rumah. "Di kubur bukan semestinya, tapi di dudukkan seperti duduk di kursi dan menghadap ke arah timur, tempat matahari terbit," tutur Abak lagi.
Jarak kepala dengan permukaan tanah sangat-sangat dekat. Ini terbukti saat makam nenek kami dibongkar dan di pindahkan ke makam kaum sekitar tahun 1990an. Saat penggalian, yang pertama kali ditemukan rambutnya. Sangat dekat dengan permukaan tanah. Rambutnya masih ada. Meski saat diangkat kata Abak hanya menjadi debu.
Begitulah kisah Abak di masa agresi Belanda II. Sungguh menyedihkan. Aku saja saat menulis kisah ini jadi bercucuran air mata. Terbayang betapa sangat sakitnya nenek ku itu ditembak montir, dijatuhkan dari rumah panggungnya dengan cara ditarik di rambutnya dan dikubur masih dalam keadaan hidup. Ya Allah, ampunkan dosa beliau ya Allah, jika beliau ada dosa. Beri tempat terbaikMu untuknya. Amin.
Al Fatihah untukmu nenekku. Meski aku tak pernah mengenalmu secara langsung, semoga kau bahagia memiliki aku sebagai cucumu. Amiin allahuma amin..
Kutulis dengan cucuran air mata
Muara Kasang
Jumat, 7 Juli 2023
Selesai tulis pukul 12.27 WIB.
https://duniakataku-kataduniaku.blogspot.com/2016/12/abak.html?m=1)
Komentar
Posting Komentar