16

16 atau enam belas. Perpaduan angka 1 dan 6 ini sebenarnya tak begitu istimewa. Dia sama saja dengan angka-angka lainnya yang menunjukkan sebuah bilangan. Namun bagiku angka ini sangat bermakna. Bukan karena aku percaya angka-angka seperti para pecinta toto gelap (togel) atau pejudi lainnya.

Cerita angka 16 bermula di Sungai Gerong, Palembang, Sumatra Selatan. Waktu itu, malam pertama saat aku sampai di acara pelatihan bagi wartawan yang diadakan PT Pertamina (Persero) Pusat. Aku merupakan salah seorang yang terlambat datang dalam acara yang berlangsung 7-11 September 2011. Aku terlambat karena sulitnya mendapatkan tiket pesawat dari Padang ke Jakarta, karena tingginya permintaan arus balik setelah lebaran.

Kembali ke malam itu yang merupakan acara ramah tamah. Pembawa acara mengajak para peserta pelatihan untuk ikut sejumlah permainan. Nah, aku pun mencoba ikut berpartisipasi, meski agak sedikit kurang percaya diri karena aku dapat bocoran dari panitia acaranya adalah lomba menyanyi. Agh, meski suka bernyanyi (nyanyi di kamar mandi, hehehe), aku memang agak keder jika disuruh menyanyi di depan orang ramai. Namun aku tepis aja rasa kurang "PD" itu.
 
Jadilah aku ikutan maju ke depan kawan-kawan yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia. Rupanya karena yang banyak mengacung jempol perempuan, maka cowok yang ikut maju ke depan di minta mundur dulu. Akhirnya tiga perempuan, termasuk aku diminta menebak lagu dan menyanyikan syairnya. Lagu pertama 

"Tak Gendong-nya Mbah Surip". Sayang, aku lupa judulnya, sehingga tak bisa menebak. Namun singkat cerita aku juga dapat hadiah sebuah modem CDMA dari sebuah operator baru di Indonesia, setelah menebak judul lagu Ahmad Dani, Madu 3. Meski tidak bisa menyanyikannya, karena tak hafal syair aku dapat hadiah karena berhasil goyang ngebor ala Inul (aghh, sesuatu yang sebenarnya tak ku sukai).

Ups, lalu dimana munculnya "angka cantik" 16 itu? Malam itu, usai menguji kemampuan peserta pelatihan dengan berbagai pertanyaan dan berbagai permainan yang mengajak tertawa bersama, Mbak MC (aku lupa namanya, maaf ya Mbak) kemudian memperlihatkan hadiah puncak malam itu, sebuah kamera digital merk Nikon. Berbeda dengan sebelumnya, dia tak menguji atau mengajak bermain lagi. "Saya tak akan bertanya lagi, tapi cuma meminta saudara semua mengeluarkan koin. Bagi yang terbanyak memilikinya akan mendapatkan hadiah ini," katanya sambil mengacung-acungkan hadiah itu.

Aku pun teringat koin atau uang receh yang malam sebelum keberangkatan sempat akan kutinggalkan. Aku pun kemudian segera mengeluarkan receh yang kusimpan dalam sebuah dompet pembelian emas dari dalam tasku. Aku beradu cepat dengan yang lain yang juga membawa sejumlah receh atau koin. Aku menunjukkan banyaknya uang recehku. "Hitung," perintah si mbak MC.

Aku hitung jumlahnya. "Enam belas (16) Mbak," ujarku dengan nafas masih agak tersengal. 

Ternyata malam itu tak ada yang mengungguli koin keberuntunganku. Bahkan, wartawan lain dengan berkelakar mencoba mengumpulkan koin rekan-rekannya yang tetap saja tak bisa mencapai jumlah koin yang aku miliki. "Asyik," sorakku dalam hati masih tak percaya koin yang sempat aku rencanakan untuk tidak dibawa memberikan sebuah keuntungan, kamera pocket. Singkat cerita, kamera itu kemudian memang berpindah ke tanganku, meski ada celutukkan dari arah audiens yang menyebutkan," koin? bikin malu aja!. Aghh, aku tak peduli, yang penting membawa hadiah, bahkan malam itu dua sekaligus. "Ini hadiah setelah perjuanganmu," kata ibu humas dari Pertamina Malang (maaf bu aku juga lupa nama ibu, karena kusimpan di hp). 

Perjuangan yang dimaksud adalah perjuangan untuk sampai di "arena" pelatihan itu. Bagaimana aku dan adikku, Yuli terpaksa datang subuh-subuh ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM) demi me-hunting tiket yang belum di tangan. Kepergianku ke Palembang akhirnya harus dibayar mahal dengan tiket Rp2,5 juta dari calo. Soal calo ini aku sebenarnya sebel sekali, karena dia bisa mendapatkan tiket dengan mudah, sedangkan aku dan puluhan ribu orang lainnya mesti bersusah payah mendapatkan tiket saat jalur peak season semacam itu.

Tapi sudahlah, semua sudah berlalu dan aku juga telah meminta agar pihak berwenang di BIM untuk mengatasinya, meski hingga kini belum aku ketahui upaya yang mereka lakukan. Kembali ke angka 16. Saat di kamar aku merenungkan keberhasilanku mendapatkan hadiah-hadiah itu. Aku sangat percaya semua sudah digariskan Allah SWT untukku, namun tak urung aku sempat terbayang sesuatu. Aku ingat 16 yang lain, yakni tanggal 16 seperti hari ini. Tanggal 16, tiga bulan lalu aku berkenalan dengan seorang pria yang me-add aku sebagai teman facebook-nya. Pria itu memikat hatiku. Malam itu, aku sempat menyatakan 16 angka keberuntunganku, walaupun semua itu wallahu alam.

Sampai akhir acara pelatihan pada 10 September, angka 16 kembali menyumbang keberuntungan bagiku dalam acara door prize. Saat sesi pelatihan di kelas, panitia membagi-bagi kupon berisikan angka-angka. "Hanya boleh mengambil satu saja. Kalau lebih nanti hadiahnya batal,' kata Mbak Alice mengingatkan.
Aku dapat beberapa angka, termasuk angka 16 dan 12. Angka 12 sempat terpikir untuk kuambil, karena itu tanggal kelahiranku dalam tahun masehi. Namun urung kuambil, karena teringat "cantiknya" angka 16.

Akhirnya jadilah aku mengambil "16" sebagai pilihan dan ternyata tak salah. Meski tak berbuah black berry seperti harapanku, tapi sebuah hp China merk Nexian kini ada dalam genggamku. Hp yang lumayan cantik dengan layar sentuh alias touch screen. Walau tak percaya angka-angka membawa keberuntungan, demikianlah kisah si 16 di tanganku ketika itu. Bagaimana kisah "16" maksudnya pria idamanku? Jawabnya entahlah, karena sampai kini tak ada lagi kabar darinya. Di sapa di FB dia cuek saja. Semoga dia bahagia di sana. Amin.

16 November 2011, ditulis di kamarku nan indah.

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba