Ibuku, Perempuan Luar Biasa


Umi, Abak dan salah seorang cucunya. 





Sejak beberapa hari terakhir banyak media merilis kisah ibu-ibu tangguh yang berjuang demi keluarganya. Bagiku, ini bukanlah sesuatu yang asing, karena aku adalah satu dari sekian banyak 'produk' perempuan tangguh. 

Ibuku yang kami panggil Umi adalah perempuan yang sangat luar biasa. Beliau gigih berjuang demi keluarganya. 

Tempaan kehidupan yang serba sulit membuatnya tidak cengeng, karena sejak kecil memang sudah dibesarkan dalam kehidupan yang serba susah. Ketika kecil, umi bersama adik perempuannya yang kami panggil Ande dan kakak lelakinya yang kami panggil Mak Angah, sudah ditinggal kedua orangtuanya. 

Ibu Umi, nenek kami meninggal dunia di saat Umi, Mak Angah, dan Ande masih sangat kecil untuk mengenal arti kasih sayang seorang ibu. Sedangkan ayahnya, kakek kami menikah lagi. 

Jadilah Umi, Mak Angah, dan Ande tinggal bersama dengan eteknya, adik ibu mereka yang sudah menjanda dan menghidupi empat anaknya. Etek yang dipanggil Umi dengan sebutan "Uniang" menjadi orangtua tunggal bagi tujuh anak yang masih kecil-kecil. 

Kesulitan yang dihadapi Uniang tentu menggugah Umi, sebagai salah satu anak tertua membantu mencari nafkah. Menurut cerita Umi, kadang mereka mencari kayu bakar, mencari karisiak atau daun pisang kering untuk dijual ke orang-orang yang membutuhkan. Terkadang membantu orang ke sawah atau pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan sesuai tubuh mungilnya. 

Ketika sudah agak besar, Umi dan Ande kemudian berjualan pisang rebus ke Muara Padang dengan menumpang kereta api dari Sungai Asam, Padang Pariaman. Umiku yang aslinya orang Malalak, Kabupaten Agam memang dibesarkan di Padang Pariaman, tepatnya di Puncak Kiambang.

Begitulah kehidupan Umi yang keras yang sudah dijalaninya sejak masa kanak-kanak, sehingga tatkala menikah dengan ayah kami yang hanya bekerja sebagai salah seorang buruh di pabrik seng, Umi tak canggung dengan penghasilan ayah kami yang jauh dari cukup. Beliau berusaha berhemat dengan berbagai cara agar anak-anak tetap makan. 

Saat kebutuhan hidup semakin besar, seiring dengan masuknya kami ke sekolah, Umi pun mulai membantu mencari uang dengan berjualan aneka macam kue. Kue-kue tersebut dititipkan pada sejumlah warung. Terkadang habis, kadang malah masih banyak tersisa. Tapi Umi yang tangguh tak pernah mengeluh. Di jalaninya semua itu dengan ketabahan yang kini kami rasakan sangat sangat luar biasa dan menggugah hati. 

Kata Umi pada setiap orang yang aku ingat sampai kini adalah, biarlah dirinya "tak sekolah", asalkan anak-anaknya berpendidikan. Makanya, bagi Umi tak jadi soal membanting tulang ikut mencari uang membantu ayah kami, suaminya yang hanya berpenghasilan sangat kecil. Aku ingat saat ayahku di PHK tahun 1999 lalu, gaji terakhir beliau hanyalah Rp200 ribu. Jumlah yang teramat kecil bagi sebuah keluarga dengan enam orang anak. Beliau bekerja di pabrik itu sejak tahun 1971, ketika perusahaan tersebut baru mulai berdiri.

Umi selalu berkata, jangan sampai kami anak-anaknya bernasib seperti dia dan ayah kami yang mencari uang dengan membanting tulang. Bersekolah adalah hal yang bisa melepaskan kami dari belenggu menjadi pekerja kasar. Alhamdullilah cita-cita dan harapan Umi terkabul. Dua anaknya, aku dan kakakku, Ratna kini bekerja sebagai wartawan. 

Keberhasilanku bersama kakak dan adik-adikku yang sebagian masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi tak lepas dari semangat yang ditularkan Umi. Beliau tak khawatir tangan halusnya kasar saat bekerja membelah potongan-potongan kayu yang kemudian di jual kepada pedagang sate atau rumah makan demi mendapatkan tambahan uang dari berjualan kue. Umi tak pernah surut tatkala banyak tetangga kami mencibir dan memandang sebelah mata. 

Bila kami ingat saat itu, semuanya sangat menyakitkan. Bahkan ketika kami protes atas penghinaan orang-orang di sekitar kami saat itu, Umi mengingatkan kami untuk tidak membalasnya. "Biar Allah saja yang membalasnya, Nak," begitu selalu kata beliau ketika kami berusaha meminta Umi membalas ejekan dan hinaan para tetangga yang tak suka kehidupan kami yang papa. 

Pengorbanan Umi kepada kami anak-anaknya jelas tak akan terganti dengan apapun, meski kami membalut tubuhnya dengan emas sekalipun. Namun yang pasti, kesusahan hidup yang kami alami sejak kecil dan melihat perjuangan Umi dan tentu juga ayah kami, melecut semangat untuk maju dan memberikan yang terbaik bagi beliau, karena aku yakin hanya itu yang beliau inginkan dalam hidupnya, kebaikan dan kebaikan kami anak-anaknya. 

Aku ingat saat kakakku, Ratna yang dulu pernah bekerja sebagai TKI di PT Samsung Bhd di Negeri Sembilan, Malaysia mengirimi Umi uang untuk dibelikan perhiasan, Umi tidak membelikannya. Beliau lebih memilih menyimpan uang itu yang katanya biarlah untuk masa depan kakakku. 

Bahkan ketika orang-orang bertanya kepada Umi gaji kakakku, Umi bilang, biarlah anakku saja yang tahu berapa gaji yang diperoleh dari pekerjaannya. Begitulah Umi, beliau tidak mau ikut campur sepanjang itu baik. Baginya kebahagiaan sang anak adalah kebahagiannya pula. 

Begitu juga ketika aku bekerja. Beliau tak bertanya gaji saat aku memilih satu pekerjaan. Sepanjang pekerjaan itu baik dan berjalan dikoridor yang benar, baginya tidak persoalan.

Malah ketika kami membelikannya sesuatu atau membeli sesuatu yang menurut beliau belum begitu penting, beliau yang selalu mengingatkan untuk tidak boros. "Ingat perjalananmu masih panjang, jangan boros dalam belanja, karena tak selamanya kita kuat bekerja. Simpanlah uangmu untuk masa depanmu," begitu salah satu nasihat bijak beliau disamping nasihat-nasihat lainnya. 

Demikianlah Umiku. Tak cukup rasanya kata-kata tuk menyampaikan kegigihan dan keuletan Umiku. Ini hanya secuil dari begitu berlikunya perjalanan hidup Umi bersama keluarganya. Kami sebagai anak-anaknya, terutama aku sebagai anak kedua, begitu bangga akan prinsip dan pola pikir Umi yang maju ke depan. Ya Allah, aku berharap Umiku selalu diberikan kesehatan dan panjang umur. Semoga kami anak-anaknya bisa membahagiakan Umi di sepanjang umurnya. Amin. (*)

Komentar

  1. Ibu ku juga perempuan tangguh Yun,.. dia presiden, sekaligus mentri keuangan,.. hehehehe. Tom John sayang emaknya.

    BalasHapus
  2. Iya Tom, ibu-ibu kita memang perempuan tangguh. Makanya tak ada apapun yg bisa membalas jasanya kepada kita. Hanya doa yang bisa kita berikan, semoga beliau selalu diberi Allah SWT kesehatan, amin..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba