Angkutan Maut






Belum lagi kering airmata keluarga korban Bus Karunia Bakti di Cisarua, Bogor, Senin (13/2) kembali terjadi kecelakaan maut di Desa Tempuran, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Jatim). Kecelakaan ini menewaskan 4 orang dan 14 lainnya terluka. 

Selasa subuh (14/2) di jalan raya Payakumbuh-Bukittinggi, sebuah truk menghantam pohon. Sopir tewas di tempat kejadian.

Pekan lalu dan pekan ini seperti menjadi hari-hari kelabu tidak hanya bagi keluarga korban, tapi juga bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, angkutan umum yang diharapkan mampu menjembatani ketiadaan kendaraan pribadi pada sebagian besar masyarakat Indonesia, kini lebih banyak membawa petaka. Harapan mendapatkan angkutan yang nyaman dan aman sampai tujuan sepertinya menjadi sangat mahal.

Bahkan Mabes Polri seperti ditulis Singgalang, Selasa (14/2) menyebutkan, sejak awal tahun telah terjadi 9.884 kecelakaan di Indonesia dan menewaskan 1.547 orang. Angka itu belum termasuk luka berat sebanyak, 2.562 orang dan luka ringan 7.564 orang.

Memang semua itu tak hanya disebabkan angkutan umum, tapi juga kendaraan lainnya. Namun melihat begitu banyaknya kasus kecelakaan, terutama angkutan umum wajar bila Ketua YLKI Sumbar, Dahnil Aswad menilai kecelakaan yang terjadi pada kendaraan umum di Indonesia terbilang aneh. Kejadiannya yang beruntun dan terus menerus memang menimbulkan tandatanya besar. Apa yang sesungguhnya terjadi?
 
Banyak dugaan yang mencuat terkait berbagai kecelakaan tersebut. Polisi menyimpulkan penyebab utama kecelakaan pada angkutan umum adalah penumpang yang berlebihan, kecepatan tinggi, pengemudi mengantuk, kondisi jalan, dan cuaca. Saya sependapat soal ini, arena memang sering saya jumpai terutama di Padang, angkutan umum, diantaranya bus kota dan angkutan kota (angkot), sopirnya membawa kendaraannya dengan kecepatan tinggi.

Parahnya lagi kendaraan itu melaju dengan model zigzag. Tak dihiraukannya ketakutan penumpangnya yang memang lebih banyak menahan nafas karena takut ketimbang berteriak memperingatkan si sopir. Tak hanya itu, angkot yang isinya maksimal 10 orang malah disesaki sampai 15 orang. Ada yang diselipkan di bangku serap, bahkan bergelantungan di pintu kendaraan. 

Sungguh suatu pemandangan yang mengundang kengerian, apalagi bila angkot itu saling berpacu dengan angkot atau kendaraan lain. Dikhawatirkan penumpang yang bergelayut malah tersambar kendaraan lainnya. Jangan ditanya bus kota. Kurang lebih sama. Parahnya ada pula yang bergelantungan di sebatang pipa aksesoris di samping badan bus. Tak sedikit pula yang duduk di atas atap.

Tapi begitulah keadaannya, sopir angkutan sepertinya lebih mementingkan mengejar setoran dari pada menjaga keselamatan penumpangnya. Saya bukan bermaksud menyamaratakan keadaan, karena saya tak menampik masih ada sopir yang baik. 

Ketika anak baru gede (ABG) berseragam putih biru atau putih abu-abu memaksa naik angkutan mereka dengan bergelantungan, dia yang sadar akan bahayanya menolak kondisi itu. "Mati ang beko, den masuak pinjaro. Jo a anak bini den makan (Nanti kamu mati, saya masuk penjara. Dengan apa anak isteri saya diberi makan)." Begitu sering saya dengar mereka berkata.

Kini seiring banyaknya kecelakaan yang terjadi terutama yang melibatkan angkutan umum, memang sudah seharusnya pemerintah melakukan sesuatu. Mencabut izin operasional perusahaan angkutan umum yang salah satu armadanya membawa petaka, menurut saya bukan solusi yang tepat. Karena di sana juga bergantung nasib banyak manusia lainnya, seperti sopir, mekanik, bagian administrasi dan tentu saja berentetan dengan keluarga mereka masing-masing. Kalau pencabutan izin cuma untuk angkutan maut, itu sah-sah saja dilakukan.

Terlepas dari itu, pemerintah memang sudah harus membuat sebuah regulasi standar umur kendaraan. Meski keur atau uji kelaikan dilakukan sekali 6 bulan, toh disinyalir masih ada dugaan penyimpangan. Kalau pun dilakukan dengan benar, tetap saja kendaraan yang berusia lanjut tak dapat diandalkan. Contoh pada manusia, meski sudah dilakukan perawatan tetap saja yang berusia tua memiliki kekurangan dibandingkan yang muda. Entah telinga yang sudah tidak mendengar, entah kaki yang encok, dan sebagainya.
 
Selain batasan usia kendaraan, perlu pula kiranya dilakukan pembatasan pada kecepatan kendaraan. Kedengarannya memang agak bodoh, tapi menurut saya memang perlu dilakukan. Utamanya bagi kendaraan umum. Ini untuk mengantisipasi sopir ugal-ugalan atau membawa kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sebagai negara konsumen, Indonesia dapat saja meminta kepada negara produsen, seperti Jepang, Thailand, Jerman, Korea, dan lainnya untuk tidak memproduksi kendaraan dengan speed atau kecepatan yang tinggi.
 
Tentunya dengan regulasi atau melahirkan Undang-Undang tentang masalah tersebut. Saya yakin ini dapat saja dilakukan, seperti halnya beberapa produsen sepeda motor yang kini telah membuat lampu motor produksinya menyalakan secara otomatis ketika dikendarai pada siang hari. 

Kewajiban menggunakan lampu pada siang hari akhirnya dapat terwujud dengan mudah ketika produsen langsung membuat lampu yang menyala secara otomatis saat dikendarai. Bila serius, saya yakin ini dapat terwujud.

Selain itu, memang kecelakaan tidak semata faktor kendaraan. Human error atau kesalahan manusia tak dapat dihindari. Saya mendukung langkah Polri untuk mengevaluasi ujian praktik Surat Izin Mengemudi (SIM), supaya benar-benar orang yang mampu mengemudi dan paham akan aturan lalu lintas di jalan rayalah yang bisa memegang "kunci" tersebut.

Keur sebagai ujian kelaikan kendaraan juga diharapkan dapat dilakukan dengan benar. Artinya semua pihak yang terkait dapat berbenar-benar dengan masalah ini. Begitu juga dengan pengemudi atau pengendara, jangan lagi ber-hp sambil membawa kendaraan, karena tidak hanya membahayakan nyawa orang lain, tapi juga diri sendiri. (yuni)

*diterbitkan di halaman 2 harian singgalang, Kamis (16/2)

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba