Kemandirian Antarkan Haryadi Jadi Pilot

Sedari kecil Haryadi Meddiyanto, pilot di Nusantara Buana Air (NBA) terbiasa mandiri. Berbagai kebutuhan dirinya dipenuhi sendiri. Bukan karena orangtuanya tak mampu, tapi lebih kepada upaya orangtuanya, terutama ayahnya, memberikan kemandirian hidup pria dengan nama kecil Edith itu. 

Menurutnya kepada Singgalang, sejak duduk di bangku sekolah dasar, dia sudah berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Berbagai cara ditempuhnya demi mendapatkan apa yang diharapkannya. Inilah yang melecut dirinya sampai berhasil menamatkan pendidikannya sebagai pilot di Sekolah Penerbangan PLP Curug, Tangerang 1996 silam. "Saya dari kecil selalu berkeinginan mendapatkan beasiswa untuk pendidikan saya dan itu terkabul," ceritanya pada suatu siang yang cerah di Padang. 

Usai menamatkan pendidikan di SMA Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) di Jakarta, Haryadi pernah mencoba peruntungan menjadi Akabri. Berbagai tes dilaluinya, sayang nasibnya belum beruntung karena hanya ditempatkan di kursi cadangan. Setahun kemudian dia berniat mencoba lagi, namun keraguan menyergapnya. "Saya ingat waktu tes di 1992 yang hanya ditempatkan sebagai cadangan. Akhirnya saya batal mendaftar dan malah melamar ke Sekolah Penerbang PLP di Curug, Tangerang," papar putra dari Letkol Hugo S dan Sri Multo Eddiyanti. 

Ketika itu, informasi yang didapatkannya tentang sekolah tersebut masih sangat minim. Saat mendaftar, dia malah tak tahu harus memilih jurusan apa. "Petugas penerima pendaftaran sampai nanya kamu mau pilih jurusan apa?" sebutnya menirukan pertanyaan petugas tersebut. Dia sempat bingung, karena tak tahu jurusan yang akan dipilihnya. Setelah dijelaskan bahwa di sana ada jurusan, teknik radio, teknik mesin pesawat, pengatur lalu lintas udara atau PLU dan air traffic controler atau ATC dan jurusan penerbang atau pilot, maka Haryadi kemudian memutuskan memilih jurusan pilot. 

Keputusan diambil setelah dia tahu jurusan itu yang tertinggi di sekolah tersebut. "Waktu itu saya tanya yang tertinggi jurusan apa? Dijawab pilot dan saya memilih menjadi pilot," kenangnya sambil tertawa. Setelah menjalankan berbagai rangkaian tes, mulai dari tes akademik, psikotes, sampai pantokhir, termasuk tes bakat terbang akhirnya dia dinyatakan lulus. Dari 6.000 pelamar dari seluruh Indonesia, dia beruntung terpilih menjadi satu dari 60 orang yang diterima. 

Selama tes yang berlangsung dari Maret sampai Desember 1993, Haryadi tak pernah memberitahu kedua orangtuanya. "Saya baru pamit malam sebelum masuk asrama. Masuk asrama 11 Januari 1994 dan saya pamit 10 Januari usai makan malam," terangnya. 

Saat itu ada rasa tak percaya dari orangtuanya, terutama ayahnya yang bekerja sebagai AURI. "Serius kamu bisa," katanya menirukan pertanyaan ayahnya yang kini selalu dikenangnya sambil tertawa. Keraguan ayahnya dinilai Haryadi sangat beralasan, karena sejak kecil menurutnya dia terkenal badung. "Saya sekolah jarang belajar," papar ayah dari Bryan Jeremy dan Marcellino itu. 

Namun keraguan ayahnya dibuktikan Haryadi dengan lulus menjadi pilot. Dari 60 yang berhasil lulus, hanya 43 orang yang bisa diwisuda. Selebihnya gugur dan ada yang meninggal dunia saat latihan terbang. "Itu benar-benar hari yang membahagiakan dan membanggakan, karena seluruh keluarga saya menghadiri wisuda, termasuk papa," kenangnya penuh haru. 

Hari itu, pemasangan tanda wisuda dilakukan Menteri Perhubungan RI yang ketika itu dijabat Bapak Hariyanto Danutirto. Kini sudah 16 tahun dia menjalani profesinya sebagai pilot. Berbagai jenis pesawat, mulai dari Fokker, Cassa sampai Boeing pernah diterbangkan pria hitam manis ini. 

Selama itu, dia mengaku enjoi menjalani profesi yang membawanya mengeliling dunia seperti awal keinginannya menjadi pilot. Sejauh ini memang belum semua negara di dunia dia singgahi, namun beberapa diantaranya telah memberikan kenangan berkesan dan tak terlupakan baginya, seperti Singapura, Malaysia, Philipina, Srilanka, Swiss, London, dan lainnya. "Satu yang sangat ingin saya kunjungi adalah Rivera, tapi belum kesampaian," katanya. 

Sejak menamatkan pendidikan di Sekolah Penerbangan PLP Curug, terhitung sudah lima perusahaan penerbangan yang menggunakan jasanya. Mula-mula dia mengabdi di Deraya Airtaxi dengan menerbangkan pesawat jenis Casa 212 buatan Spanyol dan Shorts SD 330-200 buatan Inggris berkapasitas 30 orang. Lima tahun dia di sana dari 1996 sampai 2001. Kemudian dia pindah ke Pelita Air Service. 

Selama empat tahun di sana dia menerbangkan Casa 212 dan Fokker 28 buatan Belanda. Seterusnya di 2005 dia pindah ke Adam Air dengan menerbangkan Boeing 737-200. Karirnya di sana berakhir seiring dengan tutupnya operasional penerbangan tersebut. Berbekal pengalaman terbangnya yang sudah cukup lama pria kelahiran 27 Oktober 1973 tersebut kemudian mengabdikan diri di Lion Air dengan menerbangkan Boeing 737 seri 900 ER. Di sana Edith hanya bertahan dua tahun, karena alasan suasana kerja yang kurang cocok bagi dirinya. 

Edith seperti pepatah, setinggi terbang bangau namun kembali ke kubangan jua. Sempat lama melalang buana dengan pesawat berukuran besar, dia akhirnya memutuskan kembali ke pesawat ukuran kecil dengan bergabung di PT Nusantara Buana Air (NBA) pada 2010. Kini hampir dua tahun dia 'menembus awan' dengan pesawat Casa 212 seri 100 dan 200 milik perusahaan itu. 

Pesawat itu rute Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ke Rokot di Mentawai, Kerinci, Jambi, Muko-Muko, Bengkulu, juga Jambi. Disamping Pulau Telo, Gunung Sitoli, dan Silangit di Sumatra Utara. Berbagai daerah terpencil sebagai tujuan pesawat perintis didaratinya dengan mulus, karena prinsipnya apapun pekerjaan yang dilakukan harus profesional dan dengan kehati-hatian yang tinggi. Sudah pasti, juga pada profesinya sebagai pilot. "Prinsipnya memang harus demikian, profesional dan hati-hati. Kalau tidak, apapun pekerjaan yang kita jalankan tidak akan berhasil," kata pemilik jam terbang 8.000 lebih itu. Bagi Edith sendiri tak soal menerbangkan pesawat ukuran besar atau kecil, karena semua pada prinsipnya sama. "Yang membedakan hanya teknologi saja," tuturnya. 

Kekeluargaan 
Tapi lanjutnya, membawa pesawat penerbangan perintis memberikan banyak pengalaman baru. Selain pesawat menyinggahi bandara besar di kota dan bandara kecil di pedalaman, juga penerbang dapat berkomunikasi dengan penumpang. "Kalau di pesawat besar ada jarak, karena pilot dan co pilot berada di ruang kemudi atau cockpit saja, sementara di pesawat kecil kita bisa berkomunikasi dengan penumpang," urainya. 

Jalur penerbangan yang banyak ke pelosok atau daerah terpencil memungkinkan dia dan para awak pesawat lainnya mengenal daerah dan kebudayaan setempat. "Kita bisa tahu budaya dan tradisi daerah setempat, sekaligus keindahan alam mereka. Kalau di pesawat besar, jelas tidak kita dapatkan karena traffic yang selalu padat dan macet di berbagai bandara tujuan," papar suami dari, Peggy, mantan pramugari Garuda Indonesia itu. 

Tak hanya itu, jalinan kekeluargaan antar para awak pesawat di jalur perintis seperti dia dan rekan-rekannya menurut Edith terjalin sangat erat dan harmonis. Hal tersebut terjadi karena seringnya mereka bersama. "Kalau di pesawat besar, tidak mungkin selalu bersama. Jika hari ini terbang dengan si A, belum tentu besok dengan dia lagi. Beda sekali dengan penerbangan perintis," ujarnya serius. Hal tersebut diamini rekannya di NBA, Fadhli, seorang Flight Operation Officer (FOO) yang sering terbang bersama-sama. 

Sekolah penerbang 
Ditanya tentang profesi pilot, Edith menilai profesi ini profesi langka dan dia mengaku beruntung bisa menjadi bagian dari profesi tersebut. Untuk masuk sekolah penerbang atau sekolat pilot memang tak mudah. Walau demikian sepanjang ada kemauan diyakini pasti ada jalan. Sumbar dengan keberadaan Bandara Internasional Minangkabau (BIM) sebagai pintu gerbang utama daerah ini menurutnya dapat memanfaatkan potensi ini. "Pejabat di Sumbar sebaiknya mulai memikirkan rencana pendirian sekolah bagi pilot. Demi memudahkan anak-anak Sumbar meraih profesi ini," sebutnya. 

Dia yakin banyak anak-anak di daerah ini yang memiliki keinginan dan pastinya punya potensi untuk menjadi pilot. Hanya saja diduganya, karena keterbasan sulit bagi mereka untuk bisa menggapai asa. "Ini harus dimanfaatkan oleh pejabat di sini, apalagi sudah memiliki bandara yang begini bagus," pesannya. 

Sepanjang karirnya sebagai penerbang, anak kedua dari tiga saudara ini hampir tak pernah bertemu dengan pilot orang Minangkabau. Setiap bertemu pilot, selalu orang Medan dan Jawa. "Setiap saya ketemu dan ditanya pilotnya asal mana, pasti dengan bangga mereka bilang orang Medan atau Jawa. Sudah saatnya pula orang Padang jadi pilot," katanya. Terlepas dari itu, kepada masyarakat terutama yang belum pernah mencoba naik 'burung besi', dia meminta tak perlu takut. "Selama masih ada penerbang yang mau membawa pesawat itu, berarti pesawat tersebut layak terbang," tegasnya. (YUNI)

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba