Soal Randang




Randang Lokan dapoer.ummi.koe



Pekan-pekan terakhir kepopuleran rendang kembali hangat diperbincangkan. Terutama menjelang pelaksanaan Festival Randang yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumbar, Selasa (26/6) lalu. Membicarakan randang memang seolah tak ada habisnya, seperti gurihnya rasa yang diciptakan masakan khas Ranah Minang itu.

Pelaksanaan festival sendiri seperti yang disebutkan panitia berlangsung dengan sukses. Banyak hal menarik yang dapat dicermati, diantaranya cara atau teknik memasak yang berbeda yang ditampilkan berbagai peserta dari berbagai daerah di dalam festival itu.

Namun tak kalah menarik dari itu adalah pernyataan Wakil Gubernur Sumbar, H. Muslim Kasim dalam seminar tentang randang yang berlangsung di hari yang sama tapi di tempat berbeda, yakni tentang penyebutan nama untuk makanan terenak di dunia tersebut. Wagub menilai, kita semua perlu mempopulerkan nama makanan itu dengan sebutan 'randang' agar keasliannya sebagai masakan Ranah Minang dapat terus terjaga.

Tanpa bermaksud angkek talua, saya pribadi sangat-sangat sependapat dengan pendapat Wagub Muslim Kasim itu. Bukan semata karena terlahir sebagai gadih Minang, tapi karena saya mengkhawatirkan nama aslinya dalam bahasa Minangkabau itu punah ditelan zaman. Saat ini saja sejumlah penyebutan dalam bahasa Minang mulai hilang bahkan orang Minang sepertinya mulai enggan menggunakannya. Sebagai contoh sapaan untuk kakak laki-laki, Uda atau Uni untuk kakak perempuan mulai tidak digunakan di dalam keluarga.

Begitu juga kepada teman atau rekan kerja. Banyak yang lebih suka disapa Abang atau Mbak. Syukur-syukur kalau masih menyapa dengan Kakak kepada saudara perempuannya atau perempuan yang lebih tua.

Kembali kepenyebutan Randang menurut saya memang perlu 'dipatenkan'. Dalam artian, mulai dipopulerkan ke ranah publik, tentunya bukan semata di tingkat lokal, melainkan nasional bahkan internasional. Selain sebagai makanan terenak di dunia, ini juga makin mengukuhkan eksistensi randang sebagai makanan yang berasal dari ranah Minang seperti harapan Wagub Sumbar itu.

Namun semua itu, menurut saya belum lah cukup. Perlu action lebih nyata lagi dari pemerintah daerah demi menjaga sepenuhnya kekayaan ranah bundo kanduang.Saat ini, ketika kepopuleran randang berada di tingkat teratas, kita boleh saja berbangga karena namanya setiap saat menjadi fokus berita media.

Bahkan sebuah produsen mie instan di Indonesia juga ikut mempopulerkannya dengan melabeli produknya dengan cita rasa randang. Meskipun rasanya menurut saya tidak begitu mirip, paling tidak produsen ini ikut memperkukuh keberadaan randang sebagai makanan terenak di dunia. Begitu juga dengan sebuah restoran fastfood yang juga menjual menu ayam rendang.

Namun jangan sampai kepopuleran saat ini sampai membuat kita semua terlena. Bisa saja ketika dunia mulai lupa randang berasal dari Ranah Minang, Sumatra Barat, orang dari belahan dunia lain mengklaimnya sebagai kekayaan kulinernya.

Rasanya memang terdengar mustahil karena belakang dunia telah mengetahuinya bahwa makanan terenak di dunia itu berasal dari Sumatra Barat, negeri elok dengan beragam kuliner nan lezat. Namun bukankah tidak ada sesuatu yang tidak mustahil di dunia ini?

Apalagi belakangan tidak hanya masyarakat Minang yang pandai mengolah bumbu dan daging menjadi randang. Banyak orang di luar daerah ini mulai mahir membuat makanan ini. Mereka biasanya memang belajar dari tetangganya yang berasal dari Ranah Minang dan tidak tertutup kemungkinan di belahan dunia lain itu ada pula orang Minang lain yang mengajarkan cara membuat randang ke tetangganya. Kemahiran 'murid' kemudian mengalahkan 'gurunya' dan bisa saja kelak secara turun temurun mereka pelajari untuk selanjutnya diklaim sebagai 'hak miliki negaranya'. Kita tentu tidak berharap hal demikian.

Tapi alangkah bijaknya bila melakukan antisipasi seperti kata pepatah lebih baik mencegah dari pada mengobati. Dari itu, pemerintah daerah perlu menyiapkan sesuatu antisipasi agar masakan yang diluar Ranah Minang dikenal sebagai Rendang Padang ini bisa dijaga marwahnya sebagai milik orang Minangkabau seutuhnya. Tentu tak cukup sekedar melestarikan dengan gelaran festival setiap tahun. Tindakan lain yang diperlukan adalah mendaftarkan randang sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI) ke lembaga HAKI tingkat dunia. (*)










Pernah dimuat di harian singgalang Minggu (1/7)

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba