Aku dan Umiku







Lagi, 22 Desember ini diperingati sebagai Hari Ibu di seluruh dunia. Aku tak mau ambil pusing bagaimana tanggal ini ditetapkan sebagai hari ibu. Pastinya, bicara tentang ibu, terutama ibuku jelas tak akan ada habisnya. Terutama tentang kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

"Kasih Ibu sepanjang jalan". 

Ungkapan itu aku yakini sepenuhnya dan memang aku jumpai dari Umi, ibuku. Meski sudah sebesar saat ini, Umi selalu mengingatkanku makan teratur, karena memang sejak kecil aku suka makan tidak teratur dan suka lupa makan bila sudah serius bekerja.

Dulu, ketika beberapa tahun lalu kami tinggal seatap, Umi pasti selalu meminta aku sarapan pagi. Bila malas, tidak jarang Umi yang lagi makan menyuapi aku beberapa suap nasi dari piringnya. 

Aghh, apa aku manja? Entahlah. Tapi pastinya, aku memang lebih suka bermanja-manja dengan Umi. Apalagi sekarang Umi tinggal berjauhan denganku. Meski dapat ditempuh hanya dalam setengah jam angkutan umum, aku agak jarang menjumpai Umi, terutama bila lagi sibuk.

Soal kemanjaan ini, aku jadi teringat masa kecilku. Aku sejak kecil memang tidak suka makanan pedes. Jadilah ketika di masa itu acapkali Umi membuat 'teman' makan nasi kami, 'samba lado', maka dapat dipastikan aku tidak akan menyentuh nasi sebutir pun. 

Biasanya, meski dipaksa, aku tetap tak akan makan. Bukan sombong atau tak memahami kehidupan keluargaku yang sulit, tapi memang aku susah makan dengan makanan yang pedas.

Agar aku tetap bisa mengonsumsi makanan, jadilah Umi selalu membuatkanku sayur. Biasanya sayur itu dipetik dari sayuran yang ditanam di sekitar rumah kontrakan kami. Bila tak ada sayur, biasanya Umi merebus mie instan yang menjadi jatah konsumsi dari tempat Ayahku bekerja, pabrik seng.

Uniknya ketika itu, sayur tersebut terkhusus untukku. Adikku, Yulia yang berjarak dua tahun lebih kecil dariku, kadang tidak kebagian. Yulia sejak kecil sepertinya memang tahan banting. Dia seolah tak merasakan pedas meski mengonsumsi makanan pedes, 'samba lado'.

Begitulah, jika diingat saat ini betapa memang sangat manjanya diriku. Bahkan, hingga kini pun mungkin masih tergolong anak manja, karena biasanya kalau makan buah-buahan, masih suka yang dikupasin.
Kalau mau minum kopi atau teh, masih suka 'ngosor' minuman yang dibuat Umi. Aghh, kadang menyesal juga masih suka memberatkan Umi.

Tapi, dasar anak yang selalu ingin dimanja, aku tetap saja tak bisa menghilangkan kebiasaan ini. Umipun selalu tak pernah keberatan bila aku begitu. Malah, saat aku kecapekan, pasti Umi dengan senang dan ikhlas hati memijiti tubuhku, walaupun beliau terkadang lagi kurang sehat.

Tapi tak hanya aku, Umi memang suka tak tega melihat anak-anaknya kelelahan. Biasanya, Umi yang aku jumpai ketika aku sedang tidak sibuk malah dengan sengaja membuatkan aku minuman. Padahal, aku bisa membuatnya sendiri.

Umi, sepertinya tak pernah lelah dengan anak-anaknya. Beliau hingga kini masih suka memasak. Bahkan, ketika membuat makanan, beliau selalu ingat beberapa anak-anaknya yang memang tinggal berjauhan.

Biasanya beliau berpesan kepada kakak kami yang tinggal bersamanya untuk menjemput makanan itu. Meski sedikit, Umi selalu menyisihkan untuk kami (aku dan adik-adikku) yang memang tinggal sedikit berjauhan.

Demikianlah Umiku. Beliau selalu mencintai kami, anak-anaknya yang hingga kini masih saja memberatkannya. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesehatan untuknya, sehingga aku dan saudara-saudaraku dapat pula membahagiakannya. (*)

Ditulis di kamarku nan indah, 21 Desember 2012

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba