Di SDN 23 Tua Peijat : Satu Ruang, Dua Kelas

Satu ruangan yang jadi dua kelas. (ist)


Tua Peijat- 
Hari itu Rabu (1/10), udara Tua Peijat, ibukota Kepulauan Mentawai yang panas tiba-tiba berubah mendung diiringi hujan deras. Di SD 23 Tua Peijat, anak-anak yang sudah istirahat kembali ke kelasnya masing-masing.

Ditengah curahan hujan yang berbunyi keras di atap sekolah, sayup terdengar dua suara dari kelas paling ujung SD yang terletak di kilometer 10. Suara itu bukanlah suara orang sedang bercakap-cakap, melainkan suara guru mengajar.


"Baik anak-anak, silahkan buka buku kalian. Hari ini, Bapak akan memberikan pelajaran tentang bilangan prima,” ujar salah satu dari dua suara tadi dengan lantang.


“Kalian tahu apa itu bilangan prima? Bilangan prima adalah bilangan yang bisa dibagi dengan bilangan satu dan bilangan itu sendiri,” sambungnya lagi.


Sementara, suara satu lagi lebih halus dan bersahaja. “Bagaimana anak-anak, sudah dipelajari soal-soal di dalam LKS bahasa Indonesia yang Ibu berikan waktu itu,” ujar suara lainnya.


Suara halus nan lembut itu berasal dari suara guru perempuan bernama, Arfianti, guru kelas III di sana. Sedangkan suara lantang adalah suara Lia Suripto, guru yang mengajar di Kelas IV. Keduanya mengajar dalam satu ruangan yang hanya dibatasi sekat. Tidak ada upaya saling berpacu cepat. Namun, memang keduanya tampak tetap bersemangat mengajar di sana.


“Kalau dibilang terganggu, pastinya demikian. Apalagi, buat anak-anak,” kata Afrianti, guru yang sudah mengajar di sana sejak 1997 atau saat SD tersebut masih menjadi filial dari SDN 17 Tua Peijat.


Ungkapan senada juga Suripto yang baru mengajar di sana sejak sembilan bulan lalu sebagai guru honor. “Pasti terasa agak terganggu, tapi bagaimana lagi, kami memiliki keterbatasan sarana, berupa ruang kelas,” katanya pula.


Namun Afrianti menyebut, saat ini hal itu sudah terbilang lebih baik dari tahun-tahun pertama dia mengajar di sana. Dulu, hampir semua kelas disekat. “Paling hanya kelas VI yang belajar di kelas tersendiri. Kelas V belajar di kantor dengan disekat juga, sedangkan kelas I dan II, III dan IV digabung dalam satu kelas, hanya dengan dibatasi sekat,” cerita isteri Taswandi, guru di SDN 17 Tua Peijat.


Beberapa murid-murid di kedua kelas bersekat yang ditanyai Singgalang mengaku tidak masalah dengan keadaan itu. Namun, dari sorot wajah mereka tidak dapat menyembunyikan betapa mereka juga ingin seperti kelas lain yang memiliki ruang belajar sendiri.


Kedua guru ini mengakui, tidak jarang murid celingak celinguk. Diduga konsentrasinya terbagi, saat masing-masing guru mengajar. Namun, sebagai pendidik, keduanya berusaha memahami para murid dengan melakukan pendekatan. “Jika mereka tidak paham, kita dekati, tanyakan apa yang mereka tidak paham, karena kita tahu tiap anak berbeda karakternya,” ujar ibu dari Sepria Yuliardi, Ardya Rifqi Oktamen, dan Regina Novy Ardila.


Tapi, mereka tidak selamanya di kelas, terutama pada mata pelajaran kesenian atau bernyanyi. “Kalau menyanyi, kami ke luar, supaya kelas sebelah yang belajar tidak terganggu,” sebut Afri lagi.


Dia membeberkan, penggabungan kelas III dan IV karena memang jumlah murid di kedua kelas itu terbilang minim, yakni hanya 17 orang dan 11 orang. Begitulah! Di sana, belajar dalam keterbatasan sudah menjadi irama kehidupan mereka.


Kepala SDN 23 Tua Peijat, Yunizar membeberkan, dari enam rombongan belajar (rombel) hanya ada lima kelas. Akibatnya, satu kelas terpaksa digabung. “Kelas yang digabung, karena jumlahnya sedikit, sehingga merekalah yang bisa kita gabungkan,” katanya.


Soal penambahan ruang kelas diakuinya pernah disampaikan kepada Kepala Cabang Dinas Pendidikan, namun hingga kini memang belum ada tanggapan. Makanya, pihaknya berupaya memaksimalkan proses belajar mengajar dengan memanfaatkan ruang yang ada.


Walau begitu, sekolah yang tertata asri itu pernah meraih berbagai prestasi. Salah seorang muridnya—bahkan sang murid adalah yang belajar di kelas disekat— meraih juara pertama Lomba Bercerita di tingkat Kabupaten Kepulauan Mentawai. “Sayang, pada lomba tingkat provinsi belum beruntung,” ujarnya.


Selain itu, prestasi yang pernah diraih adalah Juara III Lomba Pelayanan Perpustakaan se-Sumbar dan prestasi lainnya. Ke depan, mereka bertekad pula, bisa meraih prediket Sekolah Adiwiyata, yakni sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan. (yuni)


*Dimuat di halaman dua Harian Singgalang, Selasa, 14 Oktober 2014 dan website Harian Singgalang: http://hariansinggalang.co.id/di-sdn-23-tua-peijat-satu-ruang-dua-kelas/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba