Raynul Mihiko Kapten Satu-satunya Kapal Asing di Laut Padang



Raynul Mihiko di atas Kapal Ohana



Pagi itu, Sungai Pisang tampak begitu tenang, setenang air di teluknya yang bersih, tak berombak. Di sana, sebuah kapal mewah berwarna putih berdiri kokoh menghadap laut. 

Di atas kapal tersebut, seorang laki-laki muda duduk manis di belakang kemudi. Sepertinya dia sedang bersiap mengarungi laut lepas di hadapannya. 

“Kami mau berlayar ke Pulau Pasumpahan, tidak jauh dari sini, karena ini hanya buat memanaskan mesin kapal,” kata sang lelaki yang tidak lain kapten kapal bermerek Ohana itu. 

Terdengar suara mesin begitu halus dan kapal pun berjalan pelan. Semakin lama semakin ke tengah laut. Sang lelaki  yang diketahui bernama Raynul Mihiko, tampak tenang mengendalikan laju kapal. 

Sudah beberapa bulan ini, dia dipercaya sang pemilik,  Breet Kannel, seorang pengusaha asal Perth, Australia Barat mengendalikan kapal itu.

Bukan sekadar juru mudi atau nakhoda kapal saja, melainkan mengendalikan semua isi kapal mewah berbendera Australia tersebut, satu-satunya kapal asing di laut Padang. “Saya menjemput kapal ini langsung ke Australia pada Mei lalu,” cerita Raynul kepada Singgalang, akhir pekan lalu. 

Tidak butuh waktu lama untuknya mengendalikan kapal itu dari Negara Kanguru ke laut di ibukota Provinsi Sumatera Barat ini. “Sekitar 13 hari saja dari Hillary ke Padang. Yang lama justru di Indonesia. Kalau dari Australia ke Bali hanya butuh lima hari,” terang pria kelahiran Lubuk Alung, Padang Pariaman ini.  

Ohana adalah kapal super mewah yang dibuat perusahaan kapal Sun Seeker. Kapal ini tidak disewakan oleh sang pemilik, tapi hanya akan digunakan untuk kebutuhan pribadi atau keluarga pemiliknya saat berlibur ke Sumatera Barat. Ini sesuai dengan nama kapal yang dalam bahasa Hawai berarti keluarga.

Enam bulan sudah kapal itu berlabuh di laut Padang. Namun, hingga kini sang pemilik dan keluarganya belum pernah ke ibukota Provinsi Sumatera Barat. Jadilah Raynul dan seorang kru-nya saja yang menjadi penghuni kapal tersebut. Dia pun dengan telaten me-maintenance kapal, sehingga tetap terawat dan terjaga dari apapun. 

"Pulau Pisang sengaja saya pilih menambatkan kapal, karena di sini lautnya tenang, nyaris tidak berombak, sehingga safety untuk kapal, meski belakangan sering badai,” sebut anak pasangan Syarifuddin dan Rismawati ini. 

Sebagai seseorang yang sudah lama malang melintang di laut, tentunya dia tahu yang terbaik untuk kapal super mewah itu.  Apalagi, tanggungjawabnya terhadap kapal tersebut tidaklah ringan. Boleh jadi ini pula yang melandasi sang pemilik kapal memercayainya mengendalikan kapal itu. 

“Setiap kerja di kapal mana pun, saya selalu menjaga kepercayaan owner (pemilik-red) dan terus meningkatkan kinerja, sehingga mereka senang ‘memakai’ saya,” katanya tak bermaksud menyombongkan diri. 

Anak kedua dari enam saudara ini tidak sekadar bicara. Rekam jejaknya di berbagai kapal terbilang lama, bukan sekadar satu atau dua bulan saja. Paling lama di Kapal Quest One, sebuah kapal milik Rip Curl yang belum lama ini tenggelam di perairan Mentawai. “Itu kapal yang terakhir saya pegang sebelum pindah ke Ohana. Lima tahun saya di sana, eh..saat saya ke Australia, kapal itu tenggelam,” kenangnya sedih. 

Kiprah Raynul di laut diawali sejak menamatkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Menengah (SPM) Genta Bahari Teluk Bayur 1998 lalu. Hanya berselang tujuh hari setelah menerima ijazah, dia langsung berlayar dengan magang di PT Korindo Tanjung Pinang, sebuah perusahaan kapal yang mengangkut kayu gelondongan dari Irian, Kalimantan, dan lainnya ke Tanjung Pinang. “Kayu-kayu itu diangkut dengan kapal jenis tug boat, khusus kapal pengangkut kayu gelondongan,” terangnya. 

Beberapa lama di sana, pria pecinta olahraga terabas ini kemudian beralih bekerja ke kapal surf charter atau kapal yang khusus disewa bule-bule untuk surfing ke berbagai  spot olahraga air penuh tantangan itu. “Sekitar 1999 sampai 2003, saya bekerja di Neptune, Huey I, Arimbi dan lainnya milik Surf Travel Company . Huey  I pada tahun 2000 juga langsung saya jemput ke Jepang,” ceritanya. 

Lepas dari sana, dia mencoba peruntungan di Kapal Amelia, sebuah kapal perintis dengan rute Pulau Telo-Aceh dan sebaliknya. Hanya berselang satu tahun, dia kembali ke surf charter. Saat itu lah, tahun 2004, usai menjemput Kapal Mikumba dari Thailand, dia ikut menjadi relawan bersama para dokter dan anggota NGO relawan kemanusiaan membantu menyelamatkan korban tsunami Aceh. “Saya membawa para anggota NGO yang diantaranya dokter dan relawan lainnya. Sungguh pengalaman yang sangat luar biasa, karena ketika itu mayat masih banyak bergelimpangan di mana-mana,” katanya menerawang.

Begitulah perjalanannya karirnya di laut, sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah dicita-citakannya. “Terpikirpun tidak pernah, karena saya ini mabuk laut. Awal-awal bekerja di kapal selalu mabuk. Belum lama kapal jalan sudah mabuk. Tapi, lama kelamaan, seiring berjalan waktu, semuanya berubah,” jelasnya. 

Perjalanan karirnya sampai menjadi kapten kapal mewah ini juga tidak mudah. Karirnya dimulai dari menjadi anak buah kapal (ABK), mualim, dan seterusnya hingga menjadi kapten pada 2003 silam. Semuanya dilakukannya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Selain itu, dia juga terus meningkatkan kompetensi diri sebagai seorang kapten kapal. “Dalam waktu dekat saya akan ikut diklat untuk memenuhi sertifikat yang disyaratkan bagi kapten kapal sesuai perjanjian Manila,” terangnya. 

Demikianlah. Hidup adalah pilihan. Raynul senang dengan kehidupannya saat ini, meski dia sendiri tidak tahu sampai kapan akan berlayar. Tapi sejumlah rencana untuk hari tua sudah disiapkan pria yang di masa sekolah pernah masuk komunitas radio amatiran dan kini sering terlibat dalam komunitas Padang American Jeep (PAJ) ini. (yuni)

Pernah Dimuat di Harian Singgalang 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba