Lapangan PSTS Tabing dan Gorengan Umi



Lapangan PSTS Tabing dengan latar belakang SMP 13 Padang. (ist)








Lapangan PSTS Tabing, begitu nama lapangan sepak bola yang terletak di depan SMP 13 Padang di Jalan Hamka, Tabing, Padang, Sumatera Barat itu. Sejak aku lahir hingga kini, tetap itu nama lapangannya, tidak berubah, meski kadang lebih sering disebut lapangan bola saja.


Beberapa hari terakhir, lapangan ini sedang ramai-ramainya. Betapa tidak, sekarang lapangan sedang dipakai untuk pertandingan sepak bola dalam Pekan Olahraga Provinsi (Porprov).

Aku memang belum ke sana, sejak pertandingan dimulai, tapi selalu ada yang menyampaikan, lapangan penuh sesak. Banyak penonton yang menyaksikan jalannya pertandingan. Aghhh, kalau begini, jiwa dagangku langsung bergejolak. Ingin rasanya, ikut pula berjualan di sana.


Pikiranku jadi melayang ke masa berpuluh tahun lalu, saat keluarga kami mengontrak rumah di sekitar lapangan bola. Saat itu, kalau di lapangan ada keramaian, aku dan kakakku serta Abak dan Adikku nomor tiga selalu berjualan gorengan. Goreng pisang dan Godok Ubi Jala ataupun Goreng Kaladi dibuat Umi, ibuku.

Di sana, masa itu, lapangan tidak hanya untuk pertandingan sepak bola. Tapi, juga untuk pertunjukkan kesenian tradisional, seperti Randai, Rabab, Saluang, Gamai, maupun penampilan seni tradisi lainnya. Juga ada layar tancap dengan beragam film. Kalau ada pertunjukan semacam itu, pasti lapangan bola akan ramai. Banyak orang datang, entah dari mana.

Bila Umi mendapat kabar akan ada keramaian, maka siangnya, Umi sudah mempersiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Sebelum gorengan di masak, aku akan pergi ke lapangan untuk melihat apakah orang sudah berdatangan. Bila satu dua orang mulai datang, aku akan minta Umi, bergegas memasak gorengan. Abak, ayahku, akan bersiap membawa meja ke pinggir lapangan dan menyiapkan lampu strokeng dan lampu tempel. Waktu itu, listrik masih sangat mahal. Keluarga kami belum memakai listrik.

Jadilah kami berjualan di pinggir lapangan. Abak, kakakku, dan aku berjaga di dekat meja melayani pembeli. Mula-mula ada yang datang, tapi lama-lama orang semakin ke tengah lapang, gorengan kami jadi kurang dilirik, karena pandangan orang mulai fokus ke acara.

Setelah pikir-pikir, alangkah bagusnya di jual berkeliling, akhirnya, aku dan kakakku (kadang aku dan adikku) dengan persetujuan Umi dan Abak, membawa sebagian gorengan memakai panci dan berkeliling di sekitar orang yang menyaksikan pertunjukan. Sisanya, Abak yang menjual di pinggir lapangan. Wuiiiihh, yang kami jual keliling laris manis. Habis terjual. Kami kembali ke pinggir lapangan dan mengambil gorengan yang dijual Abak. Bila yang dijual di pinggir lapangan habis, maka aku pulang ke rumah, meminta Umi untuk menggoreng lagi. Ada beberapa kali bolak-balik hingga malam berganti dini hari dan bahan-bahan yang akan di masak sudah habis.

Sementara, tidak jarang pertunjukan seni itu masih berlangsung. "Ndak ado goreng ko lai? (apa masih ada gorengannya)," tanya salah seorang konsumen saat gorengan yang diinginkannya kurang.
"Japuiklah ka rumah liak. Mano tahu, masih ado (jemput lagi ke rumah. Mana tahu masih ada," sambungnya pula.

"Yo, Pak. Wak caliak di rumah liak (ya, pak. Saya lihat dulu ke rumah," jawabku.
Tapi ternyata bahan yang akan di masak juga sudah habis. Sementara yang dijual Abak di pinggir lapangan, juga sudah terjual. Akhirnya, kami tutup kedai dadakan dengan suka cita, karena dagangan laris manis.

Begitulah, kisahnya. Pada mulanya, belum banyak yang berjualan gorengan seperti kami, bahkan boleh dibilang kamilah satu-satunya penjual gorengan di lapangan bola itu. Maka tidak mengherankan, sebentar saja gorengan kami ludes terjual. Malah, pada awalnya itu, cukup dengan menjual di pinggir lapangan dengan satu meja plus lampu strokeng atau lampu tempel.

Hari berganti, bulan bertukar, akhirnya kami ada pesaing. Dagangan kami boleh dibilang jadi pelopor di sana, karena belakangan banyak bermunculan usaha serupa. Tapi, tak soal. Rezeki kami buat kami, tidak akan tertukar dengan yang lain. Buktinya, setiap pertunjukan, apapun itu, gorengan buatan Umiku selalu laris manis. Hampir tidak ada yang tersisa. Bahkan, saking larisnya, Umi sampai kelelahan membuat lagi dan lagi. Tapi, kami bahagia, karena berarti pundi-pundi uang akan mengalir ke kami, rezeki dari Allah. Amin.

Namun, setiap ada awal, pasti ada akhir. Begitu juga dengan usahaku dan keluarga berjualan di Lapangan PSTS. Aku dan Umi serta Abak, Kakak, dan Adikku (masa itu adikku baru dua, sekarang adikku empat orang) tidak lagi berjualan di sana saat-saat keramaian. Kami pindah rumah, dekat pabrik seng, tempat Abak bekerja saban hari. Tidak begitu jauh sebenarnya. Cuma pasti ribet kalau tetap dilakukan. Walau begitu, setiap usaha pasti ada jalan. Meski tidak lagi berjualan di keramaian Lapangan PSTS Tabing, kami tetap berjualan. Mungkin inilah jiwa kami, jiwa dagang. (*)







Yuni...
Kamarku, Wisma Indah 7, Tabing
Tuntas Pukul 03.03 Wib dini hari
Sabtu, 19 November 2016





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba