Abak





Abak dan salah seorang  cucunya. 




Abak, demikian kami memanggil orang tua lelaki kami. Aku sendiri tidak tahu, mengapa beliau dipanggil Abak. Yang pasti, sebagai anak kedua dari enam bersaudara, aku dan adik-adik hanya ikut kakak menyapa ayah dengan sebutan Abak. Sebagaimana aku ikut memanggil Umi, pada orang tua perempuan kami.

Agh, tak penting pula rasanya dibahas, meskipun sampai kini aku tak tahu berasal dari mana kata Abak ini. Pastinya, beliau ayah kami, suami dari Umi, perempuan yang melahirkan enam anak perempuan dari rahimnya.

Abak adalah satu-satunya lelaki ganteng di rumah kami, sebelum saudara-saudaraku menikah. Beliau seorang Labai, orang alim yang sering dipanggil untuk mendoa ke rumah orang. Bila ada yang wafat, Abak juga dipanggil untuk membantu keluarga yang meninggal memandikan jenazah.

Usai pemakaman, mendoa di rumah yang wafat. Biasanya doanya sampai 100 hari dengan rincian doa tiga hari atau pada hari ketiga setelah wafatnya seseorang itu. Kemudian doa tujuh hari, doa 14 hari atau lazim di sebut doa dua kali tujuh, doa 40 hari, dan terakhir doa 100 hari.

Doa-doa itu dilantunkan bersama-sama di rumah keluarga almarhum atau almarhumah. Biasanya Abak menjadi pemimpin doa bergantian dengan Labai atau ustad lainnya yang juga dipanggil pemilik rumah. Doa tersebut diselenggarakan biasanya usai Shalat Isya hingga menjelang Subuh. Saat Subuh, biasanya Abak sudah pulang. Beliau shalat dan istirahat.

Paginya, tiba-tiba datang orang membawa barang-barang, berupa makanan, kasur atau bantal, payung, dan sejumlah benda lainnya. Abak dan orang-orang itu menyebut istilahnya "baka". Entahlah kenapa diberi nama demikian. Yang jelas, saat aku kecil, jika baka diberi orang, maka saatnya pula kami makan besar.

Betapa tidak, biasanya makanan yang dibawa berupa lauk pauk yang lezat nikmat, seperti Kalio Daging atau Kalio Ayam, Telur Bulat Goreng atau Telur Mata Sapi, Ikan Pangek Padeh dan lainnya. Aku paling suka Telur Bulat Goreng. Entah kenapa, dari dulu hingga kini telur menjadi menu favoritku.

Saking banyaknya lauk yang dibawa, maka sampai beberapa hari Umi tidak akan membuat lauk lagi. Kami cukupkan dengan lauk pemberian dalam baka itu. Rezeki Allah yang maha pemberi. Alhamdulillah!

Soal baka ini, aku sempat kaget saat pertama kali menyaksikan orang beramai-ramai datang ke gubuk kami. Bila orang yang datang banyak sekali, maka gubuk kami tidak cukup untuk menampung mereka. Terpaksalah berdiri di luar gubuk saja, meski saat baka kami terima diselenggarakan pula doa bersama kembali.
Tapi, lama kelamaan sudah biasa saja bagi keluarga kami. Bila Abak sering mendoa ke rumah yang wafat, maka sedikit banyaknya di ujung 100 hari akan ada yang datang membawa baka. Isi baka disesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga yang wafat. Bagi kami, jika diberi alhamdulillah, jika tidak ada, tak soal pula.

Tidak hanya untuk orang meninggal. Abak juga sering dipanggil mendoa jelang Ramadhan. Doa syukuran akan masuknya bulan suci, bulan yang paling ditunggu kaum muslimin sedunia. Bila sudah begini maka kami akan melewatkan makan malam tanpa Abak. Begitu juga saat Hari Raya Idul Fitri. Banyak pula yang mengundang Abak mendoa. Bahkan aktivitas ini masih berlangsung hingga kini.

Dulu di masa kecil kami, Abak yang sudah diundang sejak siang akan berangkat ke rumah yang punya hajatan dengan Sepeda Onthel miliknya. Tapi, kini, kami meminta yang punya hajatan menjemput Abak, karena beliau sudah tua. Mata mulai tak awas apalagi berjalan selepas Magrib.

Begitulah aktivitas Abak saat menjadi Labai. Pekerjaan sehari-hari beliau dulunya adalah karyawan di pabrik seng, dekat kontrakan kami. Gajinya di sana sangat kecil. Sebenarnya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya dengan satu isteri dan enam anak. Makanya, acap kali, Abak bekerja sebagai pembantu tukang di proyek atau membantu membersihkan pekarangan rumah tetangga kami yang orang kaya.

Tidak jarang pula, membongkar "safety tank"  toilet rumah warga yang sudah penuh. Masa itu, mobil penyedot tinja belum sebanyak saat  ini. Aku yang penjijik sering kali tidak habis pikir dengan pekerjaan Abak yang satu ini. Tapi, Abak tidak soal bekerja susah membanting tulang demi keluarganya.

Kata Abak untuk mengurangi aroma busuknya tinja, disiram dengan minyak tanah. Kemudian, baru diangkat dengan ember ke lubang pembuangan yang sudah digali lebih dulu. Agh, jijik, tapi dengan inilah Abak bisa menghidupi keluarganya dengan dibantu Umi, ibu kami yang juga tak kalah tangguh.

Banyak kisah tentang lika liku perjalanan Abak, ayah kami yang tercinta. Kini pun, meski tidak lagi kerja di pabrik, menjadi pembantu tukang dan bersih-bersih rumah orang, Abak masih suka bekerja keras meski kami anak-anaknya telah meminta beliau tidak terlalu capek bekerja.

Saat menunggui kedai kecil kami di Jalan Hamka, Abak masih suka menyambi bekerja membersihkan rumput di samping warung. Begitu pula saat sampai di rumah. Usai Shalat Zuhur, Abak bukannya istirahat, tapi malah bersih-bersih di pekarangan belakang rumah.
Kata-kata nyinyir kami yang mewanti-wanti beliau seolah tak mempan. 

Beliau tetap saja bekerja. Mungkin, itu sebabnya di usia 70 tahun, Abak dianggap para tetangga kami masih awet. Usia 70 tahun (kelahiran 1946 dalam KTP) hanya perkiraan saja, karena di masa lalu, orang tua Abak tidak mencatat dengan persis hari lahir anaknya. Kami menduga, Abak lahir sebelum itu, karena Agresi Belanda II tahun 1948, Abak sudah cukup paham. Soal agresi dan Abak akan ada cerita selanjutnya. Doa kami, Abak selalu sehat-sehat saja (*)


Yuni
Senin, 12 Desember 2016 (1212)
Pukul 21.08 Wib di Kedaiku Yang Sepi Malam ini.
www.duniakataku-kataduniaku.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba