Barang Antik dan Memori Masa Lalu

Hari ini, kembali terkenang memori masa lampau. Ini ulah, Da Yan, seorang perupa yang datang menyambangi warungku dengan membawa tiga buah benda unik, benda langka. Langka karena aku yakin, sekarang barang itu sudah tidak dipakai lagi oleh orang-orang. 
Memang Da Yan sendiri mengakui, dia dengan tidak sengaja menemukan ketiga barang tersebut di sebuah toko barang antik di Pasar Raya Padang saat mencari korek api antik. "Beli barang antik," jawabnya saat aku bertanya dia dari mana. 
Minyak rambut dan parfum Tokyo Night yang dibawa Da Yan ke kedaiku. 
Barang itu, dua kaleng cantik minyak rambut merk Tokyo Night Pomade (Lavender) dan satu parfum merk Tokyo Night. 
Minyak dan parfum yang konon dahoeloenya sangat digandrungi masyarakat. 
Aku anggap digandrungi, karena cerita Umi, ibuku minyak rambut itu memang banyak dipakai, tidak hanya wanita, tapi juga pria. 
Umi pun, di masa kecilku pernah ku lihat memilikinya. Minimal, aku sempat melihat dan memegang kotak minyak rambut seperti itu. Bedanya cuma pada warna background. Bila Da Yan membawa warna hijau, milik Umi, berwarna merah. Uniknya, kotak tersebut dipakai Umi sebagai kotak penyimpan perhiasan.Aku ingat betul, perhiasan setiap anak (aku bersaudara enam orang perempuan) dan perhiasan Umi sendiri disimpan di sana.

Meski hidup susah, Umi dan Abak, ayahku, selalu memberikan setiap anaknya anting. Ini selain sebagai penanda bahwa kami anak perempuan, juga sebagai simpanan bila keluarga kami benar-benar kehabisan uang. Aku masih ingat, Umi menyimpan sebelah antingku di sana, setelah satu anting lainnya hilang akibat keteledoran saat bermain. Atau suatu ketika, saat "musim" pencurian anak dengan perhiasan, maka semua anting milik anak-anaknya akan disimpan Umi di kaleng minyak rambut itu.

Hal yang lucunya, karena sering melihat kaleng tersebut berisi perhiasan, di masa kecil tersebut, otakku sampai terpola bahwa semua ibu, pasti akan menyimpan benda berharga milik mereka di kaleng itu pula. Akibatnya, suatu hari aku tidak bisa tidur akibat melihat kaleng itu di pinggir jalan dekat sebuah rumah. 

Setiap pergi dan pulang sekolah, aku selalu melihat ke kaleng tersebut, tapi tidak berani mengambilnya, karena memang takut mengambil milik orang lain. Kedua orang tuaku selalu berpesan untuk tidak mengambil milik orang lain, karena itu dosa dan hukumannya di akhirat kelak adalah neraka. Setelah beberapa hari, aku tidak lagi melihat kaleng itu di sana. Sepertinya tertimbun bersama sampah-sampah yang ditumpuk di halaman rumah tersebut. Aku kecewa.

Tidak ingin memedam rasa, aku cerita ke Umi. Dengan wajah polos dan lugu, aku sampaikan, kemungkinan yang terpola dalam otakku. Kemungkinan kotak itu juga berisi perhiasan, seperti yang Umi lakukan.Umi lalu tersenyum usai mendengar cerita polosku.  Dia tidak menertawakan putri keduanya ini. Melainkan dengan bijak mengatakan, bahwa Umi hanya kebetulan saja menyimpan perhiasan di bekas kotak minyak rambut itu. Belum tentu, orang atau ibu lain melakukan hal serupa. 

"Itu kotak minyak rambut. Banyak orang suka memakainya. Tidak cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Kaleng yang kamu lihat, mungkin minyaknya sudah habis, makanya dibuang," terang Umi bijak.Aku jadi malu.  Teringat kekonyolan akibat sikap polosku. Tapi, aku senang, mendapatkan sebuah penjelasan yang memuaskan hatiku dari Umi, ibuku, perempuan bersahaja.

Kini pun, bila mengingatnya, aku kadang akan senyum simpul sendiri. Betapa tidak, otak kanak-kanakku sampai terpola sedemikian rupa hanya gara-gara Umi yang boleh jadi tidak punya uang untuk membeli kotak perhiasan untuk menyimpan perhiasan milik anak-anaknya. Tapi, apapun itu, kenangannya tidak akan terlupakan. Bahkan, masih teringat jelas hingga saat ini, saat aku menulis kisah ini di kedai kaki lima kami di depan Pangkalan AURI Padang yang kini sudah berubah nama menjadi Lanud Sutan Sjahrir. (*)

Yuni
Senja di Kedaiku Nan Permai Pukul 18.45 WIB
Jumat, 2 Desember 2016 (212)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba