Lapangan PSTS dan Bang Yok

Ini masih soal Lapangan PSTS Tabing. Ingat lapangan ini, maka aku juga teringat Bang Yok, pria yang di masa kecilku sering dicap sebagai raja anak-anak.

Raja anak-anak, hanya julukan saja. Aplikasinya, tidak seperti bayangan orang atau bagai kisah anak jalanan dengan bosnya yang sering ditayangkan di televisi di berbagai sinetron atau pun kisah nyata anak-anak metropolitan. Jangan bayangkan, Bang Yok, laki-laki dewasa yang kejam, memerintah anak-anak untuk bekerja dan mengambil uangnya untuk foya-foya. 

Yang ada justru, Bang Yok mengajarkan anak-anak di sekitar lapangan PSTS atau acap disebut lapangan bola kepada kebaikan. 

Aku yang ketika itu masih berusia sekitar empat atau lima tahun (aku kurang pasti, tapi yang jelas sebelum aku masuk taman kanak-kanak pada usia enam tahun), pernah ikutan nimbrung ketika Bang Yok bercerita. Cuma sekarang aku lupa detail ceritanya, maklum masih terlalu kecil. Yang pasti, intinya mengajak anak-anak untuk selalu hormat dan santun kepada orang tua masing-masing dan orang dewasa lainnya. Sebuah pengajaran yang sangat berguna. 

Selain itu, Bang Yok sering mengajak anak-anak membersihkan lapangan bola. Memilih sampah yang berserakan. Baik ketika usai acara ataupun tidak. Anak-anak akan suka cita mengerjakannya, karena usai mengumpulkan sampah, pasti diganjar dengan es kacang hijau, permen atau makanan lainnya kesukaan anak-anak. Malah, anak-anak akan senantiasa dan sering berharap Bang Yok datang ke lapangan dan meminta mereka bersih-bersih lapangan. Anak-anak sekitar lapangan bola rata-rata bukan orang kaya, seperti aku dan kakakku yang juga pernah ikutan bersih-bersih dan mendapatkan pula jatah jerih payah.

Bang Yok memang paham betul dengan pepatah Minangkabau, "bajariah tang buliah" yang artinya, setiap usaha, pasti akan mendapatkan rezeki. Anak-anak di Lapangan Bola seingatku tidak akan keberatan, karena mereka suka Bang Yok dan tentunya pemberiannya yang lebih sering es kacang hijau. 

Aku dan kakakku memang tidak lama ikut membaur bersama anak lain dan Bang Yok. Pertama, karena tidak lama, keluarga kami yang nomaden (hidup berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain) tidak tinggal di pemukiman pinggir lapangan bola lagi. Kami pindah agak jauh, meski terkadang, aku dan kakakku masih sering bermain ke Lapangan PSTS. Kedua, karena selang beberapa waktu setelah kepindahan kami, Bang Yok juga meninggalkan Kota Padang. Konon kabarnya merantau ke Jakarta. 
Begitu kabar yang kami dengar dari adik-adik beliau dan juga mamanya, seorang perempuan bersahaja yang terbilang cukup dekat dengan keluargaku. Dulu seingatku, Mama (begitu anak-anaknya dan semua orang memanggilnya) sering meminta abak, ayahku bersih-bersih rumah atau pekarangan rumahnya. Pulang dari sana, Abak akan membawa penganan atau kue pemberian Mama.

Uni Diana, salah seorang adik Bang Yok, juga sangat baik. Bila jelang lebaran, dia suka mengajak membantu membuat kue di rumahnya. Aku dan kakak, tapi lebih sering aku dan seorang adikku menginap di rumahnya. Kami membuat kue kering hingga dini hari bahkan hingga makan sahur. Bila tidak membawa bahan kue sendiri, maka kami mendapatkan jatah kue kering setelah ikut membantu. Aggh, masa yang sulit untuk dilupakan. 

Kembali ke Bang Yok. Selepas kepergiannya, tidak ada lagi "raja anak-anak". Tidak ada lagi jatah es kacang hijau yang manis lezat untuk anak-anak yang membersihkan sampah di lapangan. Semula anak-anak sedih. Tapi, hidup harus terus berjalan. Meski waktu tidak dapat diputar, aku yakin, anak-anak Lapangan PSTS Tabing memiliki kesan mendalam untuk Bang Yok. Entah dimana beliau kini. Semoga senantiasa mendapatkan limpahan RahmatNya. (*)

Senja di Kedaiku, Depan Pangkalan Auri, 
Jalan Hamka, Padang
Pukul 19.01, Rabu, 30 November 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba