Ayah Kami dan Rokoknya





Abak




Ayah, sejak kami lahir, kami kenal sebagai pria yang sangat perokok. Beliau dalam ingatanku bisa menghabiskan dua sampai tiga bungkus rokok dalam satu hari. Ketika bekerja, semisal membelah kayu untuk tungku di dapur kami, ayah yang kami panggil dengan sebutan Abak selalu merokok. Dalam setiap aktifitasnya, bibirnya tak pernah tak dihiasi rokok. 

Kami sering meminta beliau melepaskan rokok sesaat saja dari mulutnya, terutama ketika sedang bekerja. Namun tak pernah mendapatkan tanggapan yang memuaskan darinya. Tak hanya itu, ketika kami mulai memahami tentang buruknya dampak merokok, acap kali kami, aku dan saudara-saudara mengingatkan agar ayah tidak merokok. Tapi setiap kali juga kami diacuhkan saja.


Tak sekalipun ayah yang kami cintai itu berhenti untuk menghisap rokok yang di dalamnya terkandung nikotin, zat yang berbahaya bagi tubuh. Bahkan ketika sakit pun, beliau tetap merokok. Batuk tak hentinya mendera ayah yang menurut beliau lahir pada tahun 1946 silam. Wajahnya yang kuning langsat bisa menghitam karena batuk yang sangat keras menderanya. Ketika Ummi-ibu kami menyindir sakit ayah akibat rokoknya, ayah tetap tak peduli. Makanya, aku tak suka pria perokok dan setiap doaku selalu kupanjatkan bisa berjodoh dengan pria yang tak merokok.

 
Suatu hari di 2010 lalu, ada informasi tentang pengobatan alternatif tidak jauh dari rumah kami. Ayah pun mencoba ikut pengobatan yang sangat diminati masyarakat dari berbagai daerah di Sumatra Barat itu. Sebenarnya beliau bukan tipe orang yang suka berobat apalagi ke alternatif. Namun pengobatan yang menggunakan tumbuh-tumbuhan itu cukup menarik minat.

 
Singkat cerita beliau pun ikut mengantri bersama ratusan pasien "sang tabib" yang berasal dari pulau Jawa itu. Sebenarnya bapak ahli pengobatan itu tak juga disebut tabib, dia hanya dikenal dengan sapaan Pak De, karena beliau memang tak ingin disebut tabib atau ahli obat. Kata Pak De, yang menyembuhkan tetap Allah SWT, dia hanya membantu. 

 
Saat berobat, Pak De menyarankan ayah kami meminum bunga rosela dengan campuran tumbuhan lainnya. Selama pengobatan, ayah disarankan untuk tidak mengkonsumsi beberapa jenis makanan dan diminta untuk tidak merokok, karena menurut Pak De, di dalam tubuh ayah terdapat banyak racun yang disebabkan rokok. 


Meski disarankan tidak merokok, sesekali ayah masih menghisap benda berbahaya itu, walau jumlahnya tak sebanyak dulu. Ketika kami ingatkan, beliau dengan enteng berkata, "cuma disarankan tidak disuruh berhenti". Agh, ayah kami memang agak keras kepala. Sifat ini ada juga menurun kepada kami anak-anaknya, namun kata orang keras kepala pada kami untuk kebaikan keluarga.

 
Kami anak-anak beliau ketika itu merasa seperti sudah putus asa menghentikan kebiasaan merokok ayah. Namun tak disangka, setelah mengkonsumsi beberapa lama obat dari Pak De, ayah kami tak lagi merokok. Mula-mula kami agak ragu, karena siapa tahu, beliau yang menjaga warung kopi kami malam hari masih suka merokok, terutama saat pagi menjelang. Pagi dengan embun malam yang masih tersisa, tentunya menimbulkan hawa yang cukup dingin. Biasanya saat-saat seperti itu kata para perokok, hawa dingin dapat diusir dengan hembusan rokok.

 
Tapi dugaan kami salah. Ayah benar-benar telah berhenti merokok. Senang rasanya mengetahui hal itu. Di awal-awal ayah kami berhenti merokok, aku memang tak bisa menyaksikan langsung, karena ditugaskan kantor untuk belajar di Lembaga Pers Dr Sutomo di Jakarta. Memang sebelum berangkat ke sana, Oktober 2010 ayah kami sudah mulai menghentikan kebiasaan yang merusak kesehatannya. Namun baru beberapa hari saja, karena aku sudah harus berangkat ke ibukota negara tercinta ini.



Hari ini, Sabtu (14/1) atau lebih dari setahun setelah ayah berhenti merokok, aku dan salah seorang adik yang menggantikan ayah menjaga kios kopi kami di Jalan Hamka, Tabing, Padang dengan bangga bercerita tentang ayah yang sudah berhenti merokok. Teman ayah yang kami ceritakan dengan seksama menyimak kisah yang kami tuturkan. 


Dia mengakui, sangat sulit menghentikan kebiasaan merokok. Bahkan dirinya yang hanya menghisap rokok sekali-kali saja masih susah  untuk menghentikan kebiasaan itu. Apalagi bagi ayah kami yang mungkin kalau 24 jam berjaga bisa terus merokok tanpa henti. Meski teman ayah tak menyatakan apresiasinya, tapi dari nada bicaranya dia mengaku salut dengan ayah kami yang kini sudah tak lagi menghisap "si mesin pembunuh".

Sejak tak lagi merokok kesehatan ayah jauh lebih baik. Batuk yang menderanya tak lagi sesering dulu. Kalau batuk juga tak lagi menimbulkan rona menghitam di wajahnya. Kami sendiri sangat senang dan makin bangga akan ayah kami. *

Ditulis dalam Kamarku nan Indah, 14 Januari 2012

Postingan populer dari blog ini

Abak, Emaknya dan Agresi Belanda II

Iseng Berbuah Manis

Ketika Hari Ultah Itu Belum Tiba